By ArifaGora on 23rd September

Lain profesi, lain juga jenis plagiarismenya. Para pendidikpun, mereka tak luput dari masalah plagiarisme. Sebagai contoh seorang dosen di Universitas Negeri Gorontalo (UNG) berinisial (AR) diberi sanksi berupa dilarang menulis dalam bentuk apa pun, karena ketahuan melakukan plagiat atas dua artikel yang pernah dituliskan di sebuah harian lokal. (Sumber: www.mediaindonesia.com – 4 juni 2011).

Plagiarisme tidak terjadi jika orang Indonesia bisa lebih menghargai hasil karya cipta diri sendiri maupun orang lain. Bagaimana seseorang dapat menghargai karya orang lain, jika ia sendiri tidak mampu menghargai dirinya sendiri? Menghargai diri sendiri dalam banyak hal di kehidupan ini. Mulai dari menghargai apa yang ia miliki, menghargai kemampuan, menghargai hasil yang mampu diciptakan, dan yang paling penting adalah ia mampu menghargai proses menuju yang lebih baik. Kenyataan terjadi saat batik dan angklung dari Indonesia hendak dicap menjadi hak milik orang Malaysia. Banyak pihak yang geram dengan kelakuan Malaysia tersebut. Namun, cobalah kita sedikit berbenah, apakah selama Malaysia belum melakukan hal tersebut, ada penghargaan terhadap kerajinan batik dan angklung? Atau, setidaknya apakah orang Indoneisa sudah  bangga dengan karya cipta bangsa Indonesia kita tercinta tersebut? Setelah ada persengketaan tersebut, barulah dibuat hak paten akan batik serta dibuat ketentuan tertentu yang menggunakan batik sebagai simbolis kekhasan Indonesia.

There are no comments yet.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *