Plagiarisme dikaitkan erat dengan dunia pendidikan oleh karena banyak terjadinya kasus pelajar yang melakukannya dalam membuat karya tulis mereka. Plagiarisme dengan alasan latar belakang apapun tidak dapat diterima karena hal ini menunjukkan bahwa pelajar yang bersangkutan tidak kompeten dan dengan begitu pelajar tersebut tidak memenuhi standar kelulusan. Penggunaan internet sebagai sarana edukasi disertai dengan begitu banyak informasi yang tersebar di dunia maya menjadi titik rawan semakin berkembangnya plagiarisme.
Alasan klasik terbanyak orang melakukan plagiarisme adalah karena deadline yang mendesak, sementara banyak hal yang harus orang selesaikan. Namun, bisa juga karena orang tidak mau (lebih tepatnya malas) ataupun benar-benar tidak kreatif dalam membuat suatu karya. Alasan tersebut seringkali digunakan para pelajar baik itu pelajar sekolah maupun mahasiswa. Rutinitas mereka hanya berangkat ke sekolah/kampus, kemudian mereka hanya bermain-main saja atau berhura-hura, lebih tepatnya melakukan hal-hal yang tidak “penting”, alias tidak menunjang pembelajaran/perkuliahan sama sekali. Merakapun sedikit sekali memiliki kemauan ingin mengetahui sesuatu yang berkaitan dengan ilmu. Bahkan, untuk ilmu yang mereka dalami sekalipun, belum tentu mereka ingin mengetahuinya. Padahal, bangku sekolah/kuliah bukan hanya bertujuan mencetak lulusan yang hanya cerdas semata. Sekolah/kampus merupakan wahana bagi siswa dan mahasiswa untuk berinteraksi dan aktualisasi diri. Selain kecerdasan, diharapkan sekolah/kampus mampu mencetak generasi muda yang handal, bermoral dan berkarakter.
Tidak jarang kita mendengar dengungan bahwa Pemerintah akan berupaya Membangun Karakter Bangsa dengan mencerdaskan manusia, padahal menurut (Poerwadarminta : 2003) karakter adalah tabiat, watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlak, atau budi pekerti yang membedakan antara manusia yang satu dengan manusia yang lain. Menurut Penulis, berdasarkan pengertian tersebut, dapat dikatakan bahwa karakter seseorang atau bangsa, tidak akan dapat berubah, karena itu berasal dari hatinya. Kalaupun dapat berubah, semua harus dimulai dari intuisinya. Intuisi yang peka terhadap hal-hal yang mendatangkan kebaikan. Dan hendaknya intuisi yang mengandung hal-hal buruk, diuapayakan untuk dihanguskan saja. Seperti yang kita ketahui, bahwasanya kita akan lebih mudah untuk menirukan hal-hal yang buruk, dibandingkan dengan menirukan hal-hal yang baik, karena hal buruk mudah sekali menyebarnya. Sedangkan hal baik cenderung lebih susah untuk menyebarkannya.
There are no comments yet.