By ArifaGora on 23rd April

garudaSelama enam puluh enam tahun perjalanan bangsa, Pancasila telah mengalami berbagai batu ujian dan  dinamika  sejarah  sistem  politik,  sejak  jaman  demokrasi  parlementer,  era  demokras terpimpin,  era  demokrasi Pancasila, hingga demokrasi multipartai di era reformasi saat ini. Di setiap jaman, Pancasila  harus  melewati  alur  dialektika  peradaban  yang  menguji  ketangguhannya  sebagai  dasar  filosofis  bangsa  Indonesia yang terus berkembang dan tak pernah berhenti di satu titik terminal sejarah.  Sejak 1998, kita memasuki era reformasi. Di satu sisi, kita menyambut gembira munculnya fajar reformasi  yang diikuti gelombang demokratisasi di berbagai bidang.

Pada era globalisasi, ancaman terhadap negara tidak dapat lagi diterjemahkan sebagai ancaman militer saja. Melainkan banyak ancaman non militer di bidang idiologi, politik, ekonomi, sosial budaya yang juga perlu diperhitungkan dan menuntut kepekaan serta kewaspadaan dari semua pihak.

Kondisi itu menyebabkan sebagian masyarakat Indonesia berfikir dan bersikap sedemikian liberal. Nuansa kebebasan  yang terjadi juga mendorong berkembangnya paham radikal dan penyimpangan terhadap keyakinan beragama maupun hadirnya budaya asing yang menggusur budaya asli Indonesia.

Pada akhirnya mendegradasi nilai Pancasila. Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara menjadi terabaikan dan kurang bermakna dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Nilai luhur yang terkandung di dalamnya seperti gotong royong, musyawarah untuk mufakat, dan toleransi dalam kemajemukan telah ditinggalkan dan banyak masyarakat menjadi lebih individualistis, kapitalistis, dan fanatis.

Ada beberapa pertanyaan yang muncul pada saat sekarang ini :

  1. Dimanakah Pancasila kini berada?
  2. Mengapa kita seolah melupakan Pancasila?
  3. Bagaimana reaktualisasi nilai pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara?

Pertanyaan seputar Dimanakah Pancasila kini berada, penting dikemukakan karena sejak reformasi 1998, Pancasila seolah-olah tenggelam dalam  pusaran sejarah masa lalu yang tak lagi relevan untuk disertakan dalam dialektika reformasi. Pancasila  seolah  hilang  dari  memori  kolektif  bangsa.  Pancasila  semakin  jarang  diucapkan,  dikutip,  dibahas,  dan  apalagi diterapkan, baik dalam konteks kehidupan ketatanegaraan, kebangsaan maupun kemasyarakatan.

Pancasila seperti tersandar di sebuah lorong sunyi, justru di tengah denyut kehidupan bangsa Indonesia  yang semakin hiruk-pikuk dengan demokrasi dan kebebasan berpolitik.

Ada sejumlah penjelasan, mengapa Pancasila seolah “lenyap” dari kehidupan kita.   Pertama, situasi dan lingkungan kehidupan bangsa yang telah berubah baik di tingkat domestik, regional  maupun global. Situasi dan lingkungan kehidupan bangsa pada tahun 1945, 66 tahun yang lalu telah  mengalami  perubahan  yang  amat  nyata  pada  saat  ini,  dan  akan  terus  berubah  pada  masa  yang  akan  datang. Beberapa perubahan yang kita alami antara lain:

(1) terjadinya proses globalisasi dalam segala aspeknya;

(2)  perkembangan  gagasan  hak  asasi  manusia  (HAM)  yang  tidak  diimbagi dengan  kewajiban  asasi  manusia (KAM);

(3) lonjakan pemanfaatan teknologi informasi oleh masyarakat, di mana informasi menjadi kekuatan yang  amat  berpengaruh  dalam  berbagai  aspek  kehidupan,  tapi  juga  yang  rentan  terhadap  “manipulasi” informasi dengan segala dampaknya.

Ketiga  perubahan  tersebut  telah  mendorong  terjadinya  pergeseran nilai  yang  dialami bangsa  Indonesia, sebagaimana  terlihat  dalam  pola  hidup  masyarakat  pada  umumnya,  termasuk  dalam  corak  perilaku
kehidupan  politik  dan  ekonomi  yang  terjadi  saat  ini.  Dengan  terjadinya  perubahan  tersebut  diperlukan  reaktualisasi  nilai-nilai  pancasila  agar  dapat  dijadikan  acuan  bagi  bangsa  Indonesia  dalam  menjawab
berbagai persoalan yang dihadapi saat ini dan yang akan datang, baik persoalan yang datang dari dalam   maupun   dari   luar.   Kebelum-berhasilan   kita   melakukan   reaktualisasi   nilai-nilai   Pancasila   tersebut  menyebabkan keterasingan Pancasila dari kehidupan nyata bangsa Indonesia.

Kedua,      terjadinya     euphoria      reformasi     (perasaan sangat bahagia atau gembira) sebagai     akibat     dari   traumatisnya       masyarakat       terhadap  penyalahgunaan kekuasaan di masa lalu yang mengatasnamakan Pancasila. Semangat generasi reformasi  untuk menanggalkan segala hal yang dipahaminya sebagai bagian dari masa lalu dan menggantinya dengan  sesuatu  yang  baru,  berimplikasi  pada  munculnya  ‘amnesia  nasional’  tentang  pentingnya  kehadiran  Pancasila  sebagai  grundnorm  (norma  dasar)  yang  mampu  menjadi  payung kebangsaan  yang  menaungi  seluruh  warga  yang  beragam  suku  bangsa,  adat  istiadat,  budaya,  bahasa,  agama  dan  afiliasi  politik.

Memang,  secara  formal  Pancasila  diakui  sebagai  dasar  negara,  tetapi  tidak  dijadikan  pilar  dalam   membangun bangsa yang penuh problematika saat ini.   Sebagai ilustrasi misalnya, penolakan terhadap segala hal yang berhubungan dengan Orde Baru, menjadi  penyebab mengapa Pancasila kini absen dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Harus diakui, di masa lalu memang terjadi mistifikasi dan ideologisasi Pancasila secara sistematis, terstruktur dan masif (banyak) yang  tidak  jarang  kemudian  menjadi  senjata  ideologis  untuk  mengelompokkan  mereka  yang  tak  sepaham  dengan pemerintah sebagai “tidak Pancasilais” atau  “anti Pancasila”. Pancasila diposisikan sebagai alat  penguasa  melalui  monopoli  pemaknaan  dan  penafsiran  Pancasila  yang  digunakan  untuk  kepentingan melanggengkan  kekuasaan.  Akibatnya,  ketika  terjadi  pergantian  rezim  di  era  reformasi,    muncullah  demistifikasi (penolakan mistik atau mitos) dan  dekonstruksi (memahami secara lebih mandiri, tanpa didominasi pemikiran yang sudah tertanam dalam masyarakat) Pancasila  yang  dianggapnya  sebagai  simbol,  sebagai  ikon  dan  instrumen politik rezim sebelumnya. Pancasila ikut dipersalahkan karena dianggap menjadi ornamen sistem politik  yang represif dan bersifat monolitik sehingga membekas sebagai trauma sejarah yang harus dilupakan.

Pengaitan  Pancasila  dengan  sebuah  rezim  pemerintahan  tententu,  merupakan  kesalahan  mendasar. Pancasila bukan milik sebuah era atau ornamen kekuasaan pemerintahan pada masa tertentu.  Pancasila juga bukan representasi sekelompok orang, golongan atau orde tertentu. Pancasila adalah dasar  negara  yang  akan  menjadi  pilar  penyangga  bangunan  arsitektural  yang  bernama  Indonesia.  Sepanjang  Indonesia masih ada, Pancasila akan menyertai perjalanannya. Rezim pemerintahan akan berganti setiap  waktu dan akan pergi menjadi masa lalu, akan tetapi dasar negara akan tetap ada dan tak akan menyertai  kepergian sebuah era pemerintahan.

Untuk itu perlu  kita  melakukan  reaktualisasi (membumikan kembali),  restorasi (mengembalikan) atau  revitalisasi (proses, cara, dan perbuatan menghidupkan kembali suatu hal yang sebelumnya kurang terberdaya)  nilai-nilai  Pancasila  dalam  kehidupan  berbangsa  dan  bernegara,  terutama  dalam  rangka  menghadapi  berbagai  permasalahan  bangsa  masa  kini  dan  masa  datang.  Problema  kebangsaan  yang  kita  hadapi  semakin  kompleks, baik dalam skala nasional, regional maupun global, memerlukan solusi yang tepat, terencana  dan  terarah  dengan  menjadikan  nilai-nilai  Pancasila  sebagai  pemandu  arah  menuju  hari  esok  Indonesia  yang lebih baik.

Oleh karena Pancasila tak terkait dengan sebuah era pemerintahan, termasuk Orde Lama, Orde Baru dan  orde  manapun,  maka  Pancasila  seharusnya  terus  menerus  diaktualisasikan  dan  menjadi  jati  diri  bangsa  yang akan mengilhami setiap perilaku kebangsaan dan kenegaraan, dari waktu ke waktu. Tanpa aktualisasi  nilai-nilai dasar negara, kita akan kehilangan arah perjalanan bangsa dalam memasuki era globalisasi di  berbagai bidang yang kian kompleks dan rumit.

Reformasi   dan   demokratisasi   di   segala   bidang   akan   menemukan   arah   yang   tepat   manakala   kita  menghidupkan kembali nilai-nilai Pancasila dalam  praksis kehidupan berbangsa dan bernegara yang penuh  toleransi di tengah keberagaman bangsa yang majemuk ini.  Reaktualisasi Pancasila semakin menemukan  relevansinya   di   tengah   menguatnya   paham   radikalisme,   fanatisme   kelompok   dan   kekerasan   yang  mengatasnamakan agama yang kembali marak beberapa waktu terakhir ini. Saat infrastruktur demokrasi  terus    dikonsolidasikan,     sikap    intoleransi    dan     kecenderungan        mempergunakan         kekerasan      dalam  menyelesaikan  perbedaan,  apalagi  mengatasnamakan  agama,  menjadi  kontraproduktif  bagi  perjalanan  bangsa  yang  multikultural  ini.  Fenomena  fanatisme  kelompok,  penolakan  terhadap  kemajemukan  dan  tindakan  teror  kekerasan  tersebut  menunjukkan  bahwa  obsesi  membangun  budaya  demokrasi  yang  beradab,  etis  dan eksotis  serta  menjunjung  tinggi  keberagaman  dan menghargai  perbedaan  masih  jauh  dari kenyataan.

Krisis  ini  terjadi  karena  luluhnya  kesadaran  akan  keragaman  dan  hilangnya  ruang  publik  sebagai  ajang  negosiasi  dan  ruang  pertukaran  komunikasi  bersama  atas  dasar  solidaritas  warganegara.  Demokrasi  kemudian hanya menjadi jalur antara bagi hadirnya pengukuhan egoisme kelompok dan partisipasi politik  atas  nama  pengedepanan  politik  komunal  dan  pengabaian  terhadap  hak-hak  sipil  warganegara  serta  pelecehan terhadap supremasi hukum.

Dalam  perspektif  itulah,  reaktualisasi  Pancasila  diperlukan  untuk  memperkuat  paham  kebangsaan  kita  yang majemuk dan memberikan jawaban atas sebuah pertanyaan akan dibawa ke mana biduk peradaban  bangsa ini berlayar di tengah lautan zaman yang penuh tantangan dan ketidakpastian?  Untuk menjawab  pertanyaan  itu,  kita  perlu  menyegarkan  kembali  pemahaman kita terhadap  Pancasila  dan dalam waktu  yang bersamaan, kita melepaskan Pancasila dari stigma lama yang penuh mistis bahwa Pancasila itu sakti,  keramat  dan sakral,  yang  justru  membuatnya teraleinasi  dari  keseharian  hidup warga  dalam  berbangsa  dan  bernegara.  Sebagai  sebuah  tata  nilai  luhur  (noble  values),  Pancasila  perlu  diaktualisasikan  dalam tataran  praksis   yang  lebih  ‘membumi’  sehingga   mudah  diimplementasikan  dalam   berbagai   bidang  kehidupan.

Sebagai ilustrasi misalnya, kalau sila kelima Pancasila mengamanatkan terpenuhinya “keadilan sosial bagi  seluruh rakyat Indonesia”, bagaimana implementasinya pada kehidupan ekonomi yang sudah mengglobal  sekarang ini?

Kita tahu bahwa fenomena globalisasi mempunyai berbagai bentuk, tergantung pada pandangan dan sikap  suatu  Negara  dalam  merespon  fenomena  tersebut.  Salah  satu  manifestasi  globalisasi  dalam  bidang  ekonomi, misalnya, adalah pengalihan kekayaan suatu Negara ke Negara lain, yang setelah diolah dengan  nilai tambah yang tinggi, kemudian menjual produk-produk ke manca negara, sedemikian rupa sehingga  rakyat harus “membeli jam kerja” bangsa lain.

Implementasi sila ke-5 untuk menghadapi globalisasi dalam contoh kasus di atas adalah bagaimana  kita  memperhatikan  dan  memperjuangkan  “jam  kerja”  bagi  rakyat  Indonesia  sendiri,  dengan  cara  meningkatkan  kesempatan  kerja  melalui  berbagai  kebijakan  dan  strategi  yang  berorientasi  pada  kepentingan  dan  kesejahteraan  rakyat.  Sejalan  dengan  usaha  meningkatkan  “Neraca Jam  Kerja”  tersebut,  kita  juga  harus  mampu  meningkatkan  “nilai  tambah”  berbagai  produk  kita  agar  menjadi lebih tinggi  dari  “biaya tambah”; dengan ungkapan lain, “value added” harus lebih besar dari  “added  cost”.  Hal  itu  dapat  dicapai  dengan  peningkatan  produktivitas,  daya  saing  dan  lapangan  kerja  untuk SDM di Indonesia dengan mengembangkan serta menerapan ilmu pengetahuan dan teknologi yang  didorong  oleh  kebutuhan pasar  global  dan domestik.  Pasar  domestik  nasional harus  menjadi pendorong  utama.

Maka dari itu, kepada seluruh lapisan masyarakat, khususnya para tokoh  dan cendekiawan di kampus-kampus serta di lembaga-lembaga kajian lain untuk secara serius merumuskan  implementasi  nilai-nilai  Pancasila  yang  terkandung  dalam  lima  silanya  dalam  berbagai  aspek  kehidupan  bangsa  dalam  konteks  masa  kini  dan  masa  depan.  Yang  juga  tidak  kalah  penting  adalah  peran  para  penyelenggara Negara dan pemerintahan untuk secara cerdas dan konsekuen serta konsisten menjabarkan  implementasi nilai-nilai Pancasila tersebut dalam berbagai kebijakan yang dirumuskan dan program yang  dilaksanakan. Hanya dengan cara demikian sajalah, Pancasila sebagai dasar Negara dan sebagai pandangan  hidup akan dapat ‘diaktualisasikan’ lagi dalam kehidupan kita.

Memang, reaktualisasi Pancasila juga mencakup upaya yang serius dari seluruh komponen bangsa untuk  menjadikan  Pancasila  sebagai  sebuah  visi  yang  menuntun  perjalanan  bangsa  di  masa  datang  sehingga  memposisikan  Pancasila  menjadi  solusi  atas  berbagai  macam  persoalan  bangsa.  Melalui  reaktualisasi  Pancasila, dasar negara itu akan ditempatkan dalam kesadaran baru, semangat baru dan paradigma baru  dalam dinamika perubahan sosial politik masyarakat Indonesia.

Aktualisasi nilai-nilai Pancasila harus menjadi gerakan nasional yang terencana dengan baik sehingga tidak  menjadi slogan politik yang tidak ada implementasinya. Meskipun kita berbeda suku, agama,  adat istiadat dan afiliasi politik, kalau kita mau bekerja keras kita akan menjadi bangsa besar yang kuat  dan maju di masa yang akan datang.

Melalui  gerakan  nasional  reaktualisasi  nilai-nilai   Pancasila,  bukan  saja  akan  menghidupkan  kembali  memori publik tentang dasar negaranya tetapi juga akan menjadi inspirasi bagi para penyelenggara negara  di tingkat pusat sampai di daerah dalam menjalankan roda pemerintahan yang telah diamanahkan rakyat  melalui  proses  pemilihan  langsung  yang  demokratis.   Demokratisasi  yang  saat  ini  sedang  bergulir  dan proses reformasi di berbagai bidang yang sedang berlangsung akan lebih terarah manakala  nilai-nilai Pancasila diaktualisasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Gerakan reaktualisasi  nilai-nilai   Pancasila,  dapat dilakukan jika kesadaran masing masing individu cukup tinggi. Untuk itulah, kita mulai dari segala hal demi terus memberadakan pancasila dari diri kita sendiri, terhadap hal yang kecil, dan dimulai dari sekarang. Dengan demikian, keterbiasaan kita memudahkan nilai nilai pancasila agar tetap ada dalam setiap dimensi kehidupan.

There are no comments yet.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *