By ArifaGora on 28th October

3Dalam syair sebuah lagu yang berjudul Ibu Pertiwi, dalam bait terakhirnya “…kini Ibu sedang lara, merintih dan berdoa..”. Lagu tersebut tercipta sudah lama, namun kandungannya tepat jika dirasakan saat ini. Ibu Pertiwi, yakni Negeri Indonesia kita ini, memang sedang lara, melihat anak-anaknya yang berperilaku tak mencerminkan budaya asli Indonesia, yang ramah tamah, sopan, juga pemalu. Mestinya, seperti itulah anak Ibu Pertiwi bersikap dan bertindak. Potret buram, hitam, kelam tak pernah lepas dari anak-anak negeri ini. Banyak hal yang menduduki sepuluh besar bukan prestasinya, melainkan hal negatifnya. Terlepas dari benar atau tidak berita-berita yang dirilis dari sumber-sumber terpercaya menyatakan hal demikian. Misalnya, tingginya angka korupsi masuk sebagai sepuluh besar negara terkorup di dunia. Tingkat pendidikan yang rendah di kawaasan Asia Tenggara.

Beberapa stigma lain seperti negara demonstran, negara bar-bar, negara yang masih banyak memiliki penduduk penderita gizi buruk. Satu diantara stigma yang hampir mengendemik bangsa Indonesia adalah negara plagiat.

Jembatan modern saat ini adalah teknologi yang berkembang semakin pesat dan solutif. Permasalahan klasik, seperti jauhnya jarak yang membentang antara satu orang dengan yang lainnya dapat teratasi dengan teknologi. Misalnya jika seorang kakak sedang kuliah di luar kota, ia masih tetap konsisten berkomunikasi dengan adiknya. Selain melalui telpon seluler, mereka dapat berkomunikasi lewat facebook miasalnya. Seperti hal yang sudah marak sekali di Indonesia, hampir semua orang tahu facebook, hanya orang-orang tertentu saja, sebutlah orang yang tinggal di kampung dengan kehidupan sosialnya masih primitif. Komunikasi juga bisa dilakukan melalui Yahoo Messager. Itulah salah satu contoh pemanfaatan teknologi yang tepat, dan teknologi memberikan solusi yang solutif. Namun, tidak semua hal yang digital dapat memberikan dampak baik bagi para penggunanya.

Ratna Juwita, dalam Revolusi Teknologi, Digitalisasi Kehidupan (2009) menyatakan bahwa keuntungan sistem komunikasi digital antara lain terletak pada mudahnya penggandaan data, kesatuan data ketika pemindahan, fleksibilitas, serta efektifitas biaya. Dengan penyimpanan data dalam bentuk digital akan mempermudah untuk mengolah data tersebut karena data yang ada tidak harus dikonversi terlebih dahulu. Selain itu, format digital juga akan tetap menjaga keutuhan ketika dilakukan transmisi karena data akan terus menerus diregenerasi. Hal itu jelas berbeda dengan sistem komunikasi analog yang menyimpan data dalam format yang berbeda-beda sehingga akan sulit untuk mengkonstruksikannya dan data dapat rusak apabila terus menerus diputar ulang.

Namun, terlepas dari segala keuntungannya, sistem komunikasi digital ternyata juga memiliki kelemahan-kelemahan. Sebagai contoh, karena mudahnya penggandaan data yang disimpan dalam format digital, maka hal ini memicu terjadinya aksi pembajakan atas hak cipta orang lain. Sehingga, hal yang semula dikatakan sebagai keuntungan dari sistem kominikasi digital, dapat dibalikan menjadi kelemahannya pula. Faktanya, manusia seringkali melakukan hal tersebut, tanpa kesadarannya. Browsing dokumen sana sini, menuliskan isinya, tapi di sisi lain, ia tidak mencantumkan sumber dokumen yang digunakan tersebut. Entah ia lupa atau sengaja, tapi yang jelas itu adalah contoh plagiarisme.

Selanjutnya, Uty pada implementasi Teknik Watermarking Digital pada Domain DCT untuk Citra Berwarna (2008), menyebutkan tentang kemudahan distribusi media digital, khususnya melalui internet yang ternyata memberikan dampak negatif bagi usaha-usaha perlindungan hak cipta atas media digital.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Plagiat adalah mengambil atau pengambilan karangan (pendapat dsb) orang lain dan disiarkan sebagai karangan (pendapat dsb) sendiri. Plagiarisme dikategorikan sebagai bentuk tindak kriminal karena mencuri hak cipta orang lain.

Sejarah telah menunjukkan bahwa kejahatan komputer dilakukan oleh masyarakat luas seperti: para siswa, amatiran, teroris dan anggota kelompok kejahatan yang terorganisir. Yang membedakannya adalah kejahatan yang dilakukannya. Individu yang melakukan akses sistem komputer tanpa maksud berbuat kejahatan lebih jauh harus dibedakan dari karyawan lembaga keuangan yang mengambil atau mentransfer uang dari akun pelanggan.

Plagiarisme dikaitkan erat dengan dunia pendidikan oleh karena banyak terjadinya kasus pelajar yang melakukannya dalam membuat karya tulis mereka. Plagiarisme dengan alasan latar belakang apapun tidak dapat diterima karena hal ini menunjukkan bahwa pelajar yang bersangkutan tidak kompeten dan dengan begitu pelajar tersebut tidak memenuhi standar kelulusan. Penggunaan internet sebagai sarana edukasi disertai dengan begitu banyak informasi yang tersebar di dunia maya menjadi titik rawan semakin berkembangnya plagiarisme.

Alasan klasik terbanyak orang melakukan plagiarisme adalah karena deadline yang mendesak, sementara banyak hal yang harus orang selesaikan. Namun, bisa juga karena orang tidak mau (lebih tepatnya malas) ataupun benar-benar tidak kreatif dalam membuat suatu karya. Alasan tersebut seringkali digunakan para pelajar baik itu pelajar sekolah maupun mahasiswa. Rutinitas mereka hanya berangkat ke sekolah/kampus, kemudian mereka hanya bermain-main saja atau berhura-hura, lebih tepatnya melakukan hal-hal yang tidak “penting”, alias tidak menunjang pembelajaran/perkuliahan sama sekali. Merakapun sedikit sekali memiliki kemauan ingin mengetahui sesuatu yang berkaitan dengan ilmu. Bahkan, untuk ilmu yang mereka dalami sekalipun, belum tentu mereka ingin mengetahuinya. Padahal, bangku sekolah/kuliah bukan hanya bertujuan mencetak lulusan yang hanya cerdas semata. Sekolah/kampus merupakan wahana bagi siswa dan mahasiswa untuk berinteraksi dan aktualisasi diri. Selain kecerdasan, diharapkan sekolah/kampus mampu mencetak generasi muda yang handal, bermoral dan berkarakter.

Tidak jarang kita mendengar dengungan bahwa Pemerintah akan berupaya Membangun Karakter Bangsa dengan mencerdaskan manusia, padahal menurut (Poerwadarminta : 2003) karakter adalah tabiat, watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlak, atau budi pekerti yang membedakan antara manusia yang satu dengan manusia yang lain. Menurut Penulis, berdasarkan pengertian tersebut, dapat dikatakan bahwa karakter seseorang atau bangsa, tidak akan dapat berubah, karena itu berasal dari hatinya. Kalaupun dapat berubah, semua harus dimulai dari intuisinya. Intuisi yang peka terhadap hal-hal yang mendatangkan kebaikan. Dan hendaknya intuisi yang mengandung hal-hal buruk, diuapayakan untuk dihanguskan saja. Seperti yang kita ketahui, bahwasanya kita akan lebih mudah untuk menirukan hal-hal yang buruk, dibandingkan dengan menirukan hal-hal yang baik, karena hal buruk mudah sekali menyebarnya. Sedangkan hal baik cenderung lebih susah untuk menyebarkannya.

Lain profesi, lain juga jenis plagiarismenya. Para pendidikpun, mereka tak luput dari masalah plagiarisme. Sebagai contoh seorang dosen di Universitas Negeri Gorontalo (UNG) berinisial (AR) diberi sanksi berupa dilarang menulis dalam bentuk apa pun, karena ketahuan melakukan plagiat atas dua artikel yang pernah dituliskan di sebuah harian lokal. (Sumber: www.mediaindonesia.com – 4 juni 2011).

Plagiarisme tidak terjadi jika orang Indonesia bisa lebih menghargai hasil karya cipta diri sendiri maupun orang lain. Bagaimana seseorang dapat menghargai karya orang lain, jika ia sendiri tidak mampu menghargai dirinya sendiri? Menghargai diri sendiri dalam banyak hal di kehidupan ini. Mulai dari menghargai apa yang ia miliki, menghargai kemampuan, menghargai hasil yang mampu diciptakan, dan yang paling penting adalah ia mampu menghargai proses menuju yang lebih baik. Kenyataan terjadi saat batik dan angklung dari Indonesia hendak dicap menjadi hak milik orang Malaysia. Banyak pihak yang geram dengan kelakuan Malaysia tersebut. Namun, cobalah kita sedikit berbenah, apakah selama Malaysia belum melakukan hal tersebut, ada penghargaan terhadap kerajinan batik dan angklung? Atau, setidaknya apakah orang Indoneisa sudah bangga dengan karya cipta bangsa Indonesia kita tercinta tersebut? Setelah ada persengketaan tersebut, barulah dibuat hak paten akan batik serta dibuat ketentuan tertentu yang menggunakan batik sebagai simbolis kekhasan Indonesia.

Hal lain yang dapat memicu orang melakukan plagiarisme adalah Tata Hukum Indonesia yang lemah dalam mengatur keabsahan suatu karya atau hasil pemikiran seseorang, sehingga secara tidak langsung hal demikian dapat menyemarakkan kasus plagiarisme di Indonesia. Sudah beberapa kali ganti Pemimpin, namun masih belum menangani kasus plagiarisme secara serius dan intensif. Kecenderungan permasalahan yang di atasi Pemerintah adalah tindakan kriminal yang kasat mata. Sementara, tindakan kriminal dengan menjiplak karya seseorang belum mendapatakan pencerahan dalam mengatasinya.

Jauh sebelum adanya komputer dan kejahatan komputer, ada banyak bentuk pelanggaran dan kejahatan. Teknologi komputer dapat digunakan sebagai fasilitas para pelaku kejahatan komputer seperti pencurian dan penggelapan. Kejahatan komputer saat ini dicirikan dengan manipulasi otorisasi user program komputer, sebagai contoh, mencuri uang dari bank dan dari para pengusaha lainnya. Kejahatan komputer fase awal diantaranya adalah penyerangan sistem telepon dan network atau pentransferan uang menggunakan perangkat elektronik. Karena komputer pada awalnya terpusat dan tidak interkoneksi, peluang terjadinya kejahatan komputer lebih terbatas berupa penyalahgunaan sistem otorisasi user. Sebelum adanya hukum kejahatan komputer, para pelaku dan hakim apabila berurusan dengan kejahatan komputer akan menggunakan konsep hukum kriminal tindakan pencurian, perusakan hak kepemilikan, penyalahgunaan dan kejahatan kriminal.

Pemerintah Indonesia sebenarnya telah mengatur suatu mekanisme hukum untuk melindungi pemilik ciptaan yang tertuang dalam undang-undang hak cipta dan undang-undang hak kekayaan intelektual lainnya. Dalam UU No.20/2003 disebutkan bahwa:

  1. pasal 25 ayat 2 : Lulusan perguruan tinggi yang karya ilmiahnya digunakan untuk memperoleh gelar akademik, profesi, atau vokasi terbukti merupakan jiplakan dicabut gelarnya.
  2. Lulusan yang karya ilmiah yang digunakan untuk mendapatkan gelar akademik, profesi, atau vokasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 25 ayat (2) terbukti merupakan jiplakan dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Walaupun sudah ada undang-undang yang memberikan sanksi terhadap pelaku-pelaku plagiat, namun perilaku-perilaku plagiat di dunia pendidikan masih terjadi. Bahkan jumlahnya dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Meningkatnya tindakan-tindakan plagiat dalam dunia pendidikan diakibatkan oleh jarangnya tuntutan hukum terhadap pelaku plagiat.

Dalam kurun waktu yang tidak lama, plagiarisme dapat menurunkan sikap mental bangsa Indonesia yang saat ini sudah mulai mengalamai degradasi. Plagiarisme yang terus menerus dapat mencetak orang yang minder / tidak percaya diri akan kemampuan yang ia miliki. Apabila sudah banyak orang yang tidak percaya diri, atau memimpin diri sendiri saja sudah tidak bisa, bagaimana memimpin bangsa dan negara Indonesia kita ini? Bangsa yang memiliki penduduk puluhan puluhan juta. Bangsa yang sebenarnya kaya akan budaya dan hasil cipta manusianya? Apakah orang seperti itukah yang akan memimpin negeri kita?

Meskipun demikian, beberapa citra buruk bangsa Indonesia, juga ada pula sisi baiknya. Adapun diantaranya para pengharum nama bangsa dan pengangkat derajat dan martabat bangsa Indonesia, yaitu atlet yang menang dalam kejuaraan Sea Games atau Olimpiade misalnya, tak lain dan bukan mereka adalah orang yang mau bekerja keras, dan itu hanya segelintir orang saja yang berkesempatan untuk mengharumkan nama bangsa.

Akan tetapi, kata Digman (1990), dalam 25 tahun terakhir, telah muncul kesepakatan bahwa secara umum, kepribadian manusia dapat digambarkan oleh lima dimensi atau faktor. Dimensi kepribadian “Big Five” mencakup : keterbukaan terhadap lingkungan sosial dan fisik (extroversion), stabilitas emosional (emotional stability), kestujuan (agreeableness), pengaturan diri (conscientiousness), dan keterbukaan terhadap pengalaman (openness experience) (Barrick dan Mount, 1991). Dapatkah manusia tampil dan berubah sesuai kepribadian yang dikehendaki? Jawabannya adalah dapat, karena semua itu bisa dipelajari, tidak kodratis, bukan kutukan yang turun dari langit. Setelah manusia mengenali dirinya, maka ia akan lebih memahami hal yang menjadi kelemahan dan kelebihannya masing-masing. Serta lenih mudah untuk mengembangkan potensi yang dimiliki oleh setiap manusia.

There are no comments yet.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *