By ArifaGora on 22nd September

Ibnu Ummi Maktum radhiallaahu ‘anhu bukanlah salah seorang dari mereka, bahkan namanya pun belum pernah dikenal orang sebelum Islam. Apalagi orang akan mengindahkan suaranya. Ia seorang awam di kota Mekah, hidup untuk diri dan bersama dirinya. Suaranya tidak pernah didengar orang dan rupanya tidak pernah dikenal orang.

Malah, namanya pun ada yang memperselisihkan. Penduduk kota Madinah berpendapat bahwa namanya adalah Abdullah Ibnu Ummi Maktum, tetapi orang Iraq berpendapat bahwa namanya adalah ‘Amru bin Ummi Maktum. Walaupun demikian, mereka semua sepakat bahwa nama ibunya adalah Atikah binti Abdullah bin Ma’ish. Dia adalah putera dari bibi Khadijah binti Khuwalid.

Matanya buta sejak kecil, penduduk kota Mekah mengenalnya sebagai seorang yang rajin mencari rezeki dan belajar ilmu pengetahuan. Meskipun ia seorang tunanetra , namun semangatnya bergelora untuk belajar dan mengetahui segala yang didengarnya. Ia menggunakan pendengarannya sebagai pengganti matanya, apa yang didengarnya tidak dilupakan lagi sehingga ia mampu mengutarakan kembali apa yang pernah didengarnya dengan baik sekali.

Dia mendengar orang-orang mustadh’afin dan budak-budak (hamba sahaya) di kota Mekah bersembunyi-sembunyi pergi ke Darul Arqam untuk mendengarkan berita-berita dari langit yang dibawakan Muhammad al-Amin. Ia merasa bahwa di Mekah terjadi pergolakan yang lain dari biasanya. Perang urat saraf mulai tampak di permukaan ; wahyu yang disampaikan kepada Muhammad al-Amin itu menganjurkan persamaan dan persaudaraan antar sesama umat manusia. Kaum Mustadh’afin dan para hamba sahaya tertarik akan semua seruan itu, sedangkan tohok-tokoh Quraisy berusaha keras  mempertahankan system kehidupan Jahiliah, tanpa mengindahkan perkembangan zaman dan tuntutan hati nurani masyarakat umum.

There are no comments yet.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *